Senin, 23 November 2015

Islam dan Demokrasi

Istilah demokrasi tidak jarang disebut-sebut sebagai produk barat yang tidak dapat disandingkan dengan Islam. Hal tersebut dikarenakan Islam yang dipandang kaku dan hanya bisa membuat hirarki dalam lingkungan masyarakat seperti halnya patriarki. Pendapat ini banyak dilontarkan oleh kaum diluar Islam dan bahkan dari orang-orang Islam sendiri yang tidak begitu memahami bagaimana Islam sebenarnya. Sehingga banyak terjadi perpisahan urusan agama dan negara atau sekularisme di beberapa negara, sekalipun di negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Lalu bagaimana Islam sebenarnya dalam memandang demokrasi? kebenarannya akan kompatibel atau tidaknya untuk disandingkan dengan urusan negara atau politik dapat dilihat dari bagaimana konsep Islam tentang negara yang diinginkan, guna menyatukan umatnya dan memberikan kesejahteraan didalamnya.

Pengertian demokrasi secara umum dan yang paling populer adalah Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, seperti yang diuraikan oleh Abraham Lincoln. Konsep ini banyak dielu-elukan oleh banyak negara karena dianggap sebagai sistem politik yang ideal untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat suatu negara di segala lapisan. Secara aktual, Negara dapat disebut negara jika Ia memiliki wilayah dan masyarakat didalamnya. Sehingga tidak berlebihan jika demokrasi dipandang sebagai sistem urusan kenegaraan yang paling tepat karena menempat kan rakyat sebagai pemegang kekuasaan dalam bertindak dan mengambil kebijakan.

Sedangkan dalam Islam, yang perlu ditekankan adalah Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Islam sebagai sistem memiliki konsep dan penerapan politik yang lebih luas daripada demokrasi. Namun sebagian konsep demokrasi tetap dapat masuk dalam sub-sistem sistem kenegaraan dalam Islam. Islam bukan demokrasi, bukan juga otokrasi. Islam adalah Islam, yang tidak pure demokratis seperti Barat, dimana kedaulatan dipegang oleh semua masyarakat secara rata. Tapi fakta yang ada adalah penyelenggaraan hak kekuasaan secara rata itu seringnya dilakuka selama 5 tahun sekali melalui pemilu. Sedangkan kedaulatan secara merata yang sebenarnya hanya secara prosedural. Keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan yang paling dominan adalah dari segelintir kelompok elit yang tidak jarang memutuskan berdasarkan kepentingan sendiri. Namun dalam Islam, kedaulatan tertinggi adalah kedaulatan Allah, yang memiliki hukum dengan pedoman dasar Al-qur'an dan hadits tanpa mengesampingkan hak-hak masyarakat yang seharusnya didapat. Islam juga berbeda dengan otokrasi karena selain menetapkan kewajiban umatnya untuk dikerjakan, Ia tidak mengesampingkan hak-hak umatnya untuk didapat seperti yang disebutkan sebelumnya.

Hal ini dapat dilihat dari yang disebutkan dalam kitab sucinya (Albaqarah:188), yang artinya "Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan." Dalam surat Al-mulk/67:15 disebutkan pula, yang artinya: "Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rizki Nya. Dan hanya kepada Nya lah kamu kembali." Selain itu ada disebutkan pula, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepada mereka ganjaran dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (An-nahl/16:97)." Dari beberapa ayat diatas bisa dipahami bagaimana Allah sebagai tuhan dan pemegang kedaulatan tertinggi memberikan hak-hak kepada semua orang tanpa terkecuali dan tidak memandang tingkat hirarki sosial sebagai pengukur hak-hak  yang didapat.

Mengenai demokrasi untuk disandingkan dengan Islam, umat Islam memiliki beberapa tokoh yang memberikan gagasan akan pentingnya memasukkan Islam dalam sistem negara. Salah satunya adalah Mohammad Natsir, seorang nasionalis Indonesia yang cukup terkenal dan merupakan tokoh Islam yang kontra akan dipisahkannya agama Islam dengan negara. Menurutnya, Islam bukanlah sekedar agama yang kaku dan hanya menerapkan ritualisas didalamnya. Islam adalah agama yang dapat disandingkan dengan semua urusan di segala masa. Ia beranggapan bahwa sistem Islam dapat diterapkan di Indonesia. Namun, Ia tetap mengkritik demokrasi ala barat yang memisahkan antara Negara dan Agama. Disini, Ia hendak menghapus citra jelek Islam karena beberapa negara yang menerapkan Islam tapi hasilnya buruk. Negara yang melakukan penyatuan agama dengan negara namun hasilnya buruk adalah bukan karena memasukkan agama itu salah, tapi karena penerapan hukum agama yang setengah-setengah dan masih banyak kepentingan pribadi yang dimasukkan.

Dengan tegas pula Natsir menegaskan (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453) bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu bergrip sendiri yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100% , Islam itu yah Islam. Selain M. Natsir, ada pula tokoh Islam lainnya yakni Abul A’la Ala-maududi. Menurut Al-maududi, negara Islam adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Ajaran Islam yang serba mencakup itu tak dapat dipraktekkan tanpa negara Islam. Hal itu tidak lain karena negara memiliki otoritas dan kekuasaan politik yang dibutuhkan untuk merealisasikan ajaran agama. Niat mencari kekuasaan dalam rangka menegakkan agama Allah adalah amal saleh dan jangan dicampur adukkan dengan ambisi kekuasaan. Konsekuensi logis dari teori politik Islam tersebut, Almaududi mengajukan rumusan baru mengenai arti demokrasi yang dipersepsi oleh barat selama ini. Bagi dia, tak seorangpun yang dapat mengklaim memiliki kedaulatan. Pemilik kedaulatan yang sebenarnya adalah Allah dan selain Dia adalan hamba-Nya. Atas dasar itu, dia mengajukan istilah "theodemokrasi" yaitu suatu pemerintahan demokrasi yang berdasarkan ketuhanan, karena dala pemerintahan ini, rakyat diberi kedaulatan terbatas dibawah wewenang Allah.

Dengan begitu, kompatibel atau tidaknya Islam dengan demokrasi perlu diperhatikan dalam setiap perkara. Karena tidak semua hal dalam konsep demokrasi dapat diimplementasikan dalam konsep Islam atau mungkin bisa disebut khilafah. Dalam hal kedaulatan misalnya, kedaulatan tertinggi dalam Islam bukan pada setiap masyarakat yang ada, karena hal itu malah akan membuat kekacauan dalam suatu sistem karena efektifitas yang sangat kurang untuk melibatkan semua masyarakat dalam setiap kebijakan. Sedangkan dalam Islam, kedaulatan tertinggi berada pada Tuhan atau Allah, dengan konsitusi yang diterapkan berdasarkan Al-qur'an dan hadits.


Daftar Pustaka:


  • http://www.slideshare.net/afkarunia/hak-asasi-manusia-menurut-pandangan-islam
  • http://www.slideshare.net/afkarunia/hak-asasi-manusia-menurut-pandangan-islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar