Istilah demokrasi
tidak jarang disebut-sebut sebagai produk barat yang tidak dapat disandingkan
dengan Islam. Hal tersebut dikarenakan Islam yang dipandang kaku dan hanya bisa
membuat hirarki dalam lingkungan masyarakat seperti halnya patriarki. Pendapat ini
banyak dilontarkan oleh kaum diluar Islam dan bahkan dari orang-orang Islam
sendiri yang tidak begitu memahami bagaimana Islam sebenarnya. Sehingga banyak
terjadi perpisahan urusan agama dan negara atau sekularisme di beberapa negara,
sekalipun di negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Lalu bagaimana Islam
sebenarnya dalam memandang demokrasi? kebenarannya akan kompatibel atau
tidaknya untuk disandingkan dengan urusan negara atau politik dapat dilihat
dari bagaimana konsep Islam tentang negara yang diinginkan, guna menyatukan
umatnya dan memberikan kesejahteraan didalamnya.
Pengertian demokrasi
secara umum dan yang paling populer adalah Pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat, seperti yang diuraikan oleh Abraham Lincoln. Konsep
ini banyak dielu-elukan oleh banyak negara karena dianggap sebagai sistem
politik yang ideal untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
masyarakat suatu negara di segala lapisan. Secara aktual, Negara dapat disebut
negara jika Ia memiliki wilayah dan masyarakat didalamnya. Sehingga tidak
berlebihan jika demokrasi dipandang sebagai sistem urusan kenegaraan yang
paling tepat karena menempat kan rakyat sebagai pemegang kekuasaan dalam bertindak
dan mengambil kebijakan.
Sedangkan dalam
Islam, yang perlu ditekankan adalah Islam dan demokrasi adalah dua hal yang
berbeda. Islam sebagai sistem memiliki konsep dan penerapan politik yang lebih
luas daripada demokrasi. Namun sebagian konsep demokrasi tetap dapat masuk
dalam sub-sistem sistem kenegaraan dalam Islam. Islam bukan demokrasi, bukan
juga otokrasi. Islam adalah Islam, yang tidak pure demokratis seperti Barat, dimana
kedaulatan dipegang oleh semua masyarakat secara rata. Tapi fakta yang ada
adalah penyelenggaraan hak kekuasaan secara rata itu seringnya dilakuka selama
5 tahun sekali melalui pemilu. Sedangkan kedaulatan secara merata yang
sebenarnya hanya secara prosedural. Keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan
yang paling dominan adalah dari segelintir kelompok elit yang tidak jarang
memutuskan berdasarkan kepentingan sendiri. Namun dalam Islam, kedaulatan
tertinggi adalah kedaulatan Allah, yang memiliki hukum dengan pedoman dasar
Al-qur'an dan hadits tanpa mengesampingkan hak-hak masyarakat yang seharusnya
didapat. Islam juga berbeda dengan otokrasi karena selain menetapkan kewajiban
umatnya untuk dikerjakan, Ia tidak mengesampingkan hak-hak umatnya untuk
didapat seperti yang disebutkan sebelumnya.
Hal ini dapat dilihat
dari yang disebutkan dalam kitab sucinya (Albaqarah:188), yang artinya
"Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu
dapat memakan." Dalam surat Al-mulk/67:15 disebutkan pula, yang artinya:
"Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian rizki Nya. Dan hanya kepada Nya lah
kamu kembali." Selain itu ada disebutkan pula, "Barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan kami berikan kepada mereka ganjaran dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (An-nahl/16:97)." Dari
beberapa ayat diatas bisa dipahami bagaimana Allah sebagai tuhan dan pemegang
kedaulatan tertinggi memberikan hak-hak kepada semua orang tanpa terkecuali dan
tidak memandang tingkat hirarki sosial sebagai pengukur hak-hak yang
didapat.
Mengenai demokrasi
untuk disandingkan dengan Islam, umat Islam memiliki beberapa tokoh yang
memberikan gagasan akan pentingnya memasukkan Islam dalam sistem negara. Salah
satunya adalah Mohammad Natsir, seorang nasionalis Indonesia yang cukup
terkenal dan merupakan tokoh Islam yang kontra akan dipisahkannya agama Islam
dengan negara. Menurutnya, Islam bukanlah sekedar agama yang kaku dan hanya menerapkan
ritualisas didalamnya. Islam adalah agama yang dapat disandingkan dengan semua
urusan di segala masa. Ia beranggapan bahwa sistem Islam dapat diterapkan di
Indonesia. Namun, Ia tetap mengkritik demokrasi ala barat yang memisahkan
antara Negara dan Agama. Disini, Ia hendak menghapus citra jelek Islam karena
beberapa negara yang menerapkan Islam tapi hasilnya buruk. Negara yang
melakukan penyatuan agama dengan negara namun hasilnya buruk adalah bukan
karena memasukkan agama itu salah, tapi karena penerapan hukum agama yang
setengah-setengah dan masih banyak kepentingan pribadi yang dimasukkan.
Dengan tegas pula
Natsir menegaskan (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453) bahwa Islam
adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu bergrip sendiri yang mempunyai
sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100% , Islam itu yah Islam. Selain
M. Natsir, ada pula tokoh Islam lainnya yakni Abul A’la Ala-maududi. Menurut Al-maududi, negara Islam adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Ajaran Islam yang serba mencakup itu tak dapat dipraktekkan tanpa negara Islam. Hal itu tidak lain karena negara memiliki otoritas dan kekuasaan politik yang dibutuhkan untuk merealisasikan ajaran agama. Niat mencari kekuasaan dalam rangka menegakkan agama Allah adalah amal saleh dan jangan dicampur adukkan dengan ambisi kekuasaan. Konsekuensi logis dari teori politik Islam tersebut, Almaududi mengajukan rumusan baru mengenai arti demokrasi yang dipersepsi oleh barat selama ini. Bagi dia, tak seorangpun yang dapat mengklaim memiliki kedaulatan. Pemilik kedaulatan yang sebenarnya adalah Allah dan selain Dia adalan hamba-Nya. Atas dasar itu, dia mengajukan istilah "theodemokrasi" yaitu suatu pemerintahan demokrasi yang berdasarkan ketuhanan, karena dala pemerintahan ini, rakyat diberi kedaulatan terbatas dibawah wewenang Allah.
Dengan begitu,
kompatibel atau tidaknya Islam dengan demokrasi perlu diperhatikan dalam setiap
perkara. Karena tidak semua hal dalam konsep demokrasi dapat diimplementasikan
dalam konsep Islam atau mungkin bisa disebut khilafah. Dalam hal kedaulatan
misalnya, kedaulatan tertinggi dalam Islam bukan pada setiap masyarakat yang
ada, karena hal itu malah akan membuat kekacauan dalam suatu sistem karena
efektifitas yang sangat kurang untuk melibatkan semua masyarakat dalam setiap
kebijakan. Sedangkan dalam Islam, kedaulatan tertinggi berada pada Tuhan atau
Allah, dengan konsitusi yang diterapkan berdasarkan Al-qur'an dan hadits.
Daftar Pustaka:
- http://www.slideshare.net/afkarunia/hak-asasi-manusia-menurut-pandangan-islam
- http://www.slideshare.net/afkarunia/hak-asasi-manusia-menurut-pandangan-islam